PRIMBON RAMALAN JODOH

Cari Blog Ini

SINGA MANIA

Rabu, 23 Maret 2011

Sepakbola Membaca Sriwijaya FC dan Suporternya Serta sejarahnya

JIKA kita hidup di Inggris sekitar tujuh hingga empat abad lalu atau di masa kepemimpinan raja Edward II hingga Ratu Elizabet I, jelas tidak akan ditemukan sebuah klub sepakbola, baik amatir maupun profesional. Apalagi sebuah kelompok suporter tim sepakbola. Sebab setiap warga Inggris yang ketahuan atau tertangkap tengah bermain atau menonton sepakbola akan dihukum, termasuk pula kemungkinan dihukum mati.

Adapun alasan hukuman yang dijalankan Kerajaan Inggris itu, lantaran sepakbola dinilai sebagai olahraga liar atau yang tidak berbudaya. Permainan setan yang dibenci Tuhan.

Gereja-gereja di Inggris turut terpengaruh dengan sikap para raja ini. Mereka turut mengutuk atau mengkampanyekan pelarangan sepakbola. Seorang pemikir dan puritan di Inggris, Philip Stubbes, merupakan tokoh yang paling getol mengkampanyekan pelarangan sepakbola. Tahun 1583, dia menulis buku The Anatomie of Abuses, dan menuliskan tentang ratusan orang mati dalam satu pertandingan sepakbola.

Memang, bangsa Inggris, yang mulai mengenal permainan sepakbola sejak abad ke-8 Masehi, melakono permainan ini di lapangan luas, atau sebuah jalan yang panjangnya mencapai 4 kilometer. Pemainnya ratusan orang. Bolanya adalah tengkorak kepala manusia. Caranya berebut bola tanpa aturan atau dengan segala cara. Akibatnya, setiap kali pertandingan digelar, puluhan hingga ratusan orang tewas. Yang selamat, dipastikan mengalami cidera atau luka-luka.

Tapi semangat pembaharuan yang berkembang di Eropa, khususnya di Inggris, membawa sepakbola menjadi sebuah permainan yang lebih berbudaya, dan menjadi tontonan yang menarik.

Awalnya Giovani Bardi dari Italia, yang menulis mengenai aturan permainan sepakbola yang di Italia disebut Calcio pada tahun 1580. Setahun kemudian, 1581, Richard Mulcaster, pendidik atau kepala sekolah Merchant Taylors dan St. Paul, Inggris, menyerukan adanya pembatasan pemain dan wasit dalam sepakbola. Dia pun menolak unsur kekerasan dalam sepakbola. Dia menyarankan sepakbola dimainkan perempuan dan anak-anak.

Dua abad kemudian, Joseph Strutt, menyarankan sepakbola dimainkan oleh dua tim yang jumlahnya sama. Lalu, kedua tim harus berebut bola untuk memasukkannya ke gawang lawan yang terpisah, dengan jarak lapangan berkisar 70-90 meter.

Konsep Strutt ini kemudian dijadikan pijakan peraturan sepakbola modern. Pijakan ini mendasari lahirnya Football Association (FA) di Inggris pada 26 Oktober 1863, yang merupakan organisasi sepakbola tertua di dunia. Awalnya FA mengatur pemain sepakbola setiap tim sebanyak 15-21 orang. Tahun 1870, mereka memutuskan dengan 11 pemain setiap tim. Sepuluh tahun kemudian, 1880, diciptakan seorang penjaga gawang. FA juga memutuskan adanya wasit dalam setiap pertandingan, dan mematok luas lapangan, serta bola terbuat dari kulit binatang yang diisi angin.

Istilah “soccer” lahir dari FA. Charles Wreford Brown, mahasiswa Universitas Oxford, tidak sengaja menyebut Soccer ketika menjawab pertanyaan apakah dia seorang pemain rugby (rugger). “No, I am soccer,” katanya.

Sedangkan kata “football”, lahir dari kebencian atas permainan tersebut. Para raja di Inggris pada abad ke-17, menyebut permainan tersebut sebagai “fute-ball”. Lalu, sastrawan Inggris, William Shakespeare, mempopulerkan istilah ini buat mengejek seseorang dalam naskah drama King Lear, di mana ada tokoh mengejek tokoh lain yang dinilainya dungu dengan kalimat, “Foorball player.”

Kelompok Suporter Sepakbola

Sejarah supporter sepakbola dapat dikatakan sama tuanya dengan adanya sepakbola. Ciri utamanya sama seperti supporter olahraga massal lainnya, yakni mengekspresikan kegembiraan secara terbuka dan spontan. Beda supporter dengan penonton biasa yakni supporter yang lebih fanatic terhadap tim olahraga yang didukungnya. Dukungan ini diekspresikan dengan beragam cara baik di stadion maupun di luar stadion.

Kelompok supporter sepakbola yang terorganisir sebenarnya lahir setelah sepakbola menjadi industry. Kelompok supporter yang paling tergorganisir mungkin dapat dimulai dari Ultras di Italia. Saat itu supporter Ultras cukup unik saat mendukung timnas Italia, mereka tidak hanya duduk diam sambil sedikit teriak saat menonton pertandingan sepakbola. Mereka bernyanyi bersama, memakai kostum yang sama, membawa berbagai bendera, panji-panji, spanduk raksasa, poster, kembang api, serta bom asap warna-warni. Selanjutnya Tartan Army di Skotlandia, Rolligan di Denmark.

Sementara klub sepakbola juga memiliki kelompok supporternya. Misalnya Milanisti sebagai kelompok supporter AC Milan, Liverpudlian buat Liverpool, Laziale teruntuk Lazio, serta Internisti para suporternya InterMilan.

Ekspresi fanatic para supporter ini selain menguntungkan klub terkadang juga merugikan, ketika ekspresi fanatic mereka menjurus aksi kekerasan atau brutal. Misalnya tragedy Heysel, sebagai akibat perilaku hollygan Inggris, yang membuat semua klub di Inggris dilarang bermain di kompetisi antarklub Eropa buat beberapa tahun.Termasuk pula di Indonesia, banyak klub yang dihukum PSSI, akibat ulah para suporternya.

Beranjak dari perilaku dan manajemen kelompok suporter sepakbola di berbagai negara, termasuk di Indonesia, saya melihatnya terbagi dua kelompok. Pembagian kelompok ini berdasarkan karakternya.

Pertama, kelompok supporter terbuka. Disebut terbuka karena kelompok supporter ini membentuk sebuah kelompok yang diumumkan ke publik, tidak membatasi keanggotaan, serta menjadikan sepakbola sebagai alat buat mengaktualisasikan diri dan berekspresi . Meskipun sebagian tidak menyadarinya, kelompok supporter ini lebih tertarik pada hal-hal yang terkait dengan kebebesan berekspresi. Tak heran, kebebasan berekspresi yang mereka tunjukkan menjurus radikal.

Maka tak heran, di Indonesia kelompok supporter ini banyak diisi para remaja atau anak muda, kaum miskin kota, atau mereka yang merasa kebebasan berekspresinya telah dibatasi baik oleh keluarga, masyarakat, maupun negara.

Intinya, menjadi supporter sepakbola membuat mereka memiliki ruang buat bebas berpenampilan, bebas bicara, termasuk marah-marah.

Bagi sebuah klub, kelompok supporter ini sangat membantu. Sebab ekspresi mereka selain dapat mengangkat moral pemain, juga dapat menjatuhkan mental pemain lawan. Sayang ekspresi berlebihan atau radikal yang mereka tunjukkan, terkadang mendatangkan kerugian bagi klub seperti perkelahian dan aksi kekerasan terhadap supporter lain, wasit, masyarakat, bahkan pemain.

Bila dibandingkan dengan kelompok supporter terbuka di Eropa, meskipun memiliki kesamaan dalam perilaku, tapi soal kemandirian financial jauh lebih baik bila dibandingkan dengan kelompok suporter terbuka di Indonesia.

Para Liverpudlian, meskipun sebagian besar para buruh pelabuhan di Liverpool, mereka termasuk kelompok supporter yang mapan dalam mengelola keuangan dan organisasi. Di mana pun Liverpool bermain, mereka akan setia mendukung klubnya. Kehadiran mereka, mulai dari transportasi, penginapan, hingga pembelian tiket, semuanya berasal dari kelompok supporter. Tidak sedikit para buruh ini menambung uang hanya untuk membeli tiket pertandingan Liverpool dalam satu musim.

Di sisi lain, mereka pun menjalankan sejumlah usaha, yang mana keuntungannya digunakan buat kebutuhan kelompok suporternya.

Tapi, lemahnya kemandirian financial para supporter terbuka di Indonesia bukan hanya disebabkan lemahnya manajemen organisasi, juga disebabkan persoalan kondisi sosial dan ekonomi di Indonesia yang memang belum sebaik di Eropa.

Kedua, kelompok suporter tertutup. Berbeda dengan kelompok suporter terbuka, kelompok suporter tertutup ini, umumnya terdiri orang-orang mapan. Baik ekonomi maupun status sosial. Mereka menjadi supporter dalam kelompok kecil atau membatasi keanggotaan.

Meskipun menjadikan sepakbola sebagai ruang berekspresi, tapi mereka tidak sampai melakukan hal-hal yang radikal. Sebab jika mereka melakukan hal tersebut akan mengganggu identitas kemampanan yang dimiliki atau disandang.

Sepintas, kelompok supporter ini nyaris sama dengan penonton biasa. Tapi sebenarnya mereka juga fanatic seperti kelompok supporter terbuka. Mereka selalu menyaksikan setiap kali pertandingan klub sepakbola yang didukungnya, baik langsung ke stadion maupun melalui siaran televisi. Mereka sering mengenakan t-shirt atau atribut klub, berdiskusi panjang soal perkembangan pemain dan klub, termasuk menyertakan icon klub sebagai identitas pribadi. Tak jarang pula, mereka menjadi pendukung dana bagi kelompok supporter terbuka.

Nah, terkait dengan klub Sriwijaya FC yang menjadi kebanggaan dan icon masyarakat Sumatra Selatan saat ini, mereka memiliki supporter dari dua kelompok di atas. Yakni kelompok supporter terbuka dan tertutup.

Bagaimana Suporter Sriwijaya FC?

MESKIPUN memiliki dua kelompok supporter, seperti dikatakan di atas, tetapi saat ini ada fakta yang dihadapi Sriwijaya FC. Yakni kurang ramainya para supporter menyaksikan pertandingan Sriwijaya FC langsung ke Stadion Gelora Sriwijaya, Jakabaring, Palembang.

Ada yang berpendapat, hal tersebut dikarenakan minimnya rasa memiliki supporter terhadap Sriwijaya FC. Pendapat tersebut, menurut saya kurang tepat. Sebab seseorang mengikrarkan dirinya sebagai supporter jelas akan tertanam rasa memiliki.

Dalam berbagai kesempatan, saya selalu menemukan fakta—meskipun belum dilakukan survei—setiap masyarakat Sumatra Selatan yang saya temui, selalu bangga dengan Sriwijaya FC. Mereka sangat menginginkan Sriwijaya FC meraih prestasi yang tinggi.

Meskipun kebanggaan ini terkadang ditambahi kritikan, misalnya soal minimnya pemain lokal yang bermain di Sriwijaya FC.

Beranjak dari perjalanan Sriwijaya FC di musim ini, saya menduga ada beberapa hal yang menyebabkan para supporter Laskar Wong Kito tidak memenuhi seluruh bangku Stadion Gelora Sriwijaya.

Pertama, lemahnya ”kampanye” pertandingan Sriwijaya FC sehingga tidak memberikan daya tarik yang membuat para suporter berbondong-bondong pergi ke stadion.

Dari pemberitaan di media massa yang saya baca dan simak, pihak manajemen maupun pelatih Sriwijaya FC lebih banyak ”mengeluh” kepada publik, setiap kali menghadapi pertandingan. Misalnya memberitakan soal pemain yang cidera, pemain yang terkena akumulasi kartu kuning, atau para pemain inti yang tidak lengkap.

Menurut saya, informasi seperti ini tidak baik dampaknya buat suporter. Suporter yang mendapatkan informasi ini justru menjadi ”lemah” keyakinan atas permainan Sriwijaya FC. Akibatnya mereka pun malas ke stadion, atau cukup menonton di televisi—jika pertandingan disiarkan televisi—atau ber-SMS-an dengan teman yang menonton langsung ke stadion.

Di sisi lain, para pemain lapis kedua, kepercayaan dirinya turut menjadi lemah lantaran terkesan mereka tidak dipercaya penuh sebagai pelapis pemain inti. Padahal ketika pemain inti tidak main, seharusnya semua pihak mendorong pemain lapis kedua buat membuktikan diri bahwa mereka juga pantas menjadi pemain inti.

Terhadap penilaian tersebut, alangkah baiknya ke depan pelatih, pemain, maupun manajemen menunjukkan sikap optimistis setiap kali menghadapi pertandingan. Sikap ini jelas akan mendorong kepercayaan diri para pemain, termasuk pula para suporter.

Seringkali kita menemukan kejutan ketika sebuah tim yang dianggap lemah justru menampilkan permainan terbaik dan memenangkan pertandingan. Ini semua tidak lepas dari kepercayaan diri para pemain buat menunjukkan semua kemampuannya.

Bagi saya, memenangkan pertandingan sebagai sebuah kejutan sungguh nikmat rasanya. Contoh terbaik yang pernah saya rasakan, ketika timnas Indonesia mampu menjebol gawang Uruguay meskipun akhirnya kalah. Saya melihat semua pemain Indonesia tampil penuh semangat dan percaya diri.

Kedua, rasionalitas tiket terhadap kelompok suporter.

Kelompok suporter terbuka, lantaran memiliki keterbatasan financial, tentu saja menginginkan tiket yang harganya terjangkau, sehingga mereka yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, kaum miskin kota, dapat menyaksikan langsung pertandingan Sriwijaya FC di stadion.

Guna menentukan besaran nilai harga tiket buat kelompok suporter terbuka ini, sebaiknya berdasarkan kesepakatan antara pihak manajemen Sriwijaya FC dengan mereka atau melalui survey yang dilakukan kelompok independen. Sehingga akan melahirkan harga tiket yang benar-benar terjangkau kelompok supporter terbuka.

Buat membatasi jumlah tiketnya, dapat diberlakukan dengan cara pembatasan atau pembagian tempat duduk di stadion.

Bila harga tiket sudah ditetapkan, jangan sekali pun pihak manajemen melakukan diskon harga tiket terhadap kelompok suporter tertentu. Jika harus dilakukan diskon sebaiknya terhadap semua harga tiket. Sebab perlakuan tidak adil akan mendatangkan rasa tidak adil yang berbuntut rasa malas menonton Sriwijaya FC ke stadion.

Sementara terhadap kelompok suporter tertutup, sebenarnya harga tiket tidak menjadi persoalan utama. Tapi kenyamanan atau fasilitas yang didapatkan mereka di stadion yang mungkin menjadi persoalan. Misalnya tidak bersihnya tempat duduk dan tangga, yang terkadang tercium bau pesing. Kemudian sikap penjaga tiket yang kurang simpatis. Termasuk pula pada saat menyaksikan pertandingan, sejumlah pedagang asongan hilir-mudik di antara mereka, sehingga suasana menjadi tidak nyaman.

Jadi, kemungkinan besar suasana kurang nyaman tersebut yang menyebabkan mereka malas hadir di stadion. Mereka lebih menghabiskan banyak uang dengan menonton pertandingan Sriwijaya FC di sebuah café.

Biar para suporter mapan ini hadir ke stadion, ada baiknya manajemen menyediakan pedagang resmi yang tampak bersih dan sopan. Mereka hanya berjualan sebelum pertandingan atau istirahat babak pertama, atau manajemen membuat sejumlah kantin yang berada di tribun ini. Selain tentunya, menjaga kebersihan tempat duduk dan sikap bersahabat para penjaga pintu masuk.

Ketiga, faktor lain, yang mungkin menyebabkan para suporter malas hadir ke Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring, yakni mengenai jaminan keamanan terhadap kendaraan pribadi para suporter yang diparkir. Tidak sedikit suporter yang tidak hadir ke stadion lantaran cemas atau trauma soal adanya pencurian atau pengrusakan kendaraan.

Terakhir, mungkin soal kemacetan pada saat pulang dari menyaksikan pertandingan Sriwijaya FC, yang membuat suporter malas ke stadion. Tapi soal kemacetan ini sangat tergantung dengan pembangunan fasilitas akses transportasi ke Jakabaring. Sehingga faktor ini mungkin akan teratasi setelah hadirnya Jembatan Musi III.

Kesimpulan saya, guna meningkatkan jumlah supporter dan penonton yang datang ke Stadion Gelora Sriwijaya guna menyaksikan pertandingan yanh dijalani Sriwijaya FC, selain perbaikan gaya publikasi atau kampanye pertandingan yang lebih optimistis, rasionalitas harga tiket, juga peningkatan pelayanan terhadap suporter atau penonton.